Monday, August 29, 2011

Cinta ‘Ukasyah Membawa ke Syurga

Masjid penuh sesak dengan kaum Muhajirin dan Ansar. Semua berkumpul setelah Bilal memanggil mereka dengan suara azan. Ada tarikan cinta di sana, kekasih yang baru saja sembuh, yang membuat semua sahabat tidak mahu melepaskan kesempatan ini untuk bertemu dengan kekasih Allah swt.
Setelah mengimami solat, nabi berdiri dengan segak di atas mimbar. Suaranya basah, menyampaikankan kata-kata puji dan kesyukuran kepada Allah yang Maha Pengasih. Suasana menjadi sunyi sepi, mulut para sahabat tertutup rapat, semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara Nabi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah. Selanjutnya Nabi bertanya.
“Duhai sahabat, kalian tahu umurku tidak akan lagi panjang, Siapakah di antara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, kerana sekarang itu lebih baik”.
Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap penuh pada Nabi yang terlihat lemah. Tidak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening sari pati cinta. Tidak akan rela sampai bilapun, ada yang menyentuhnya meski hanya secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa.
Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya, kali ini suaranya terdengar lebih keras. Kelihatan para sahabat masih duduk dengan tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang lelaki berdiri menuju Nabi. Dialah ‘Ukasyah Ibnu Muhsin.
“Ya Rasul Allah, Dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu, duhai kekasih Allah, Saat itu engkau menghambatkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau pukulanmu mengenai lambung samping ku” ucap ‘Ukasyah.
Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah puteri kesayangannya, Fatimah. Kelihatan rasa keengganan menyelubungi Bilal, langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh kekasih yang baru saja sembuh. Namun ia juga tidak mahu mengecewakan Rasulullah. Sekembalinya Bilal, cambuk diserahkannya kepada Rasul mulia. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan ‘Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.
Lantas melompatlah dua tokoh mulia dari barisan hadapan. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak dari tadi, dia lah Abu Bakar. Dan yang kedua, tokoh pemberani, yang ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Nabi menyapanya sebagai Umar Ibn Khattab. Gementar mereka berkata:
“Hai ‘Ukasyah, pukullah kami berdua, sesuka yang engkau mahu. Pilihlah bahagian manapun yang paling kau ingin, kisaslah kami, jangan sekali-kali engkau pukul Rasul”
“Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan kalian”, Nabi memberi perintah secara tegas. Ke dua sahabat itu lemah longlai, langkahnya surut menuju tempat mereka semula. Mereka pandangi ‘Ukasyah dengan pandangan memohon. ‘Ukasyah tidak berganjak sedikitpun.
Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi Thalib tidak tinggal diam. Berdirilah ia di depan ‘Ukasyah dengan berani.
“Hai hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan kisas Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku”
“Allah Swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niat mu duhai Ali, duduklah kembali” ungkap Nabi.
“Hai ‘Ukasyah, engkau tahu, kami adalah cucu Rasulullah, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu ertinya mengkisas Rasul juga”, kini yang tampil di depan U’kasyah adalah Hasan dan Husain. Tetapi sama seperti sebelumnya Nabi menegur mereka. “Duhai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah”.
Masjid kembali ditelan senyap. Ramai jantung yang berdegup kian cepat. Tidak terhitung yang menahan nafas. ‘Ukasyah tetap dengan pendirian menghadap Nabi. Kini tidak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi ‘Ukasyah mengambil kisas. “Wahai ‘Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil kisas, inilah Ragaku,” Nabi selangkah maju mendekatinya.
“Ya Rasul Allah, saat Engkau mencambukku, tidak ada sehelai kainpun yang menghalangi pukulan cambuk itu”. Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan ghamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis pedih.
Melihat tegap badan manusia yang di maksum itu, ‘Ukasyah langsung menanggalkan cambuk dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, sepuas keinginannya ia ciumi punggung Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau, dia tumpahkan saat itu. ‘Ukasyah menangis gembira, ‘Ukasyah bertasbih memuji Allah, ‘Ukasyah berteriak haru, gementar bibirnya berucap sendu, “Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sampai hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka”.
Dengan tersenyum, Nabi berkata: “Ketahuilah duhai manusia, sesiapa yang ingin melihat penduduk syurga, maka lihatlah lelaki ini”. ‘Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan yang lain berebut mencium ‘Ukasyah. Pekikan takbir menggema kembali. “Duhai, ‘Ukasyah berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, kerana kelak engkau menjadi salah seorang yang menemani Rasul di syurga”.
Beruntunglah Engkau Ukasyah, Pencinta Kekasih Allah….
Ya Rasulullah Kami juga ingin mencium tangan dan pipimu dengan penuh kerinduan..

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin